Baduy Transposed : Traditional Textile Meets Contemporary Design

Baduy Transposed : Traditional Textile Meets Contemporary Design

Ketika beberapa bulan lalu saya bercerita ke teman-teman bahwa saya mau mendesain dengan kain Baduy, tidak sedikit dari mereka yang berkomentar serupa : “Untuk apa garap Baduy?”, “Mereka sudah over exposed”, “Apa bagusnya kain mereka?”... dan pertanyaan yang paling membuat saya berpikir adalah “Memangnya Baduy perlu ditolong industri tenunnya? Bukannya mereka juga tertutup terhadap segala macam bentuk pengembangan? Apalagi ekonominya! Nanti malah problem ketika kamu butuh kain jumlah banyak” dan seterusnya ...

Tapi saya hanya tersenyum… Karena saya punya alasan tersendiri mengerjakan proyek ini.

Berawal dari ide dari Isti Dhaniswari (seorang teman, senior kuliahku di Desain Produk ITB dan trend researcher yang membuat buku Trend Forecasting setiap tahunnya untuk pelaku kreatif Indonesia), saya diminta untuk tengok dari dekat kain Baduy, di sebuah acara bagus sekali bernama Baduy Kembali, pameran dan diskusi yang diadakan oleh Kompas.com di Bentara Budaya Jakarta. Di situ mereka menampilkan segala aspek sejarah, kultur, alam Baduy termasuk dampak-dampak sosiologis dan ekonomis yang sedang terjadi di sana. Artefak-artefak budaya menenunnya pun dipamerkan dengan apik. Di situlah saya jatuh cinta dengan hasil tenunan mereka. Sederhana, geometris, bertekstur. Dan 100% katun!!! And I thought to myself : “Now THIS …. is what I need for my next collection!”

Sudah lama saya sebenarnya ingin mengembangkan koleksi baru yang lepas dari “pakem” Indische yang siluetnya kadung sangat tradisional/etnik. Walaupun saya juga membuat banyak casualwear, tetap saja Indische tidak bisa lepas dari "image" Kebaya dan batik. Sedangkan saya ingin membuat sesuatu yang bisa diterima oleh konsumen yang lebih luas, bahkan bisa mengenalkan kekuatan tekstil "handweaving" Indonesia di ranah fashion modern/global, karena prediksi saya, pasar akan mulai jenuh dengan fashion gaya “etnik” yang cenderung ramai, kurang elegan dan “not for everyone”. Maka terjadilah eksperimen ini. Tekstil Baduy, digarap dengan metoda Trend Decoding berdasarkan buku Isti, GreyZone 2017/18 Trend Forecasting. (Sumpah, ini buku berguna sekali! Yang bergerak di bidang desain, wajib punya buku ini!)

Tujuan dari project ini adalah eksperimentasi untuk membuktikan bahwa tekstil Baduy layak untuk dijadikan bahan fashion, tanpa harus banyak merubah desain maupun teknik produksinya. Ada beberapa brand lain yang sudah lama membina pengrajin Baduy dan mempromosikan produknya dengan sangat bagus, melibatkan pengembangan desain yang mendalam dari sisi motif maupun teknik pewarnaannya. Itu bagus sekali, tapi berbeda dengan tujuanku pribadi, yaitu ingin menciptakan desain sederhana yang memungkinkan penyebaran sourcing ke seluruh desa. Yang ingin saya lakukan adalah justru memanfaatkan motif dan warna apa adanya, sehingga mudah bagi seluruh masyarakat tenunnya untuk membantu supply bahan sehingga tidak begitu sulit untuk memenuhi demand pasar (KALAU terbukti desain-desain saya laku lho ya, boleh dong optimis).

Selama 2 bulan lebih saya garap desain koleksi baru ini, otomatis saya banyak bertanya soal permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin dari segi produksi hingga marketing : keterbatasan sumber benang, proses pewarnaan, dan persoalan-persoalan lain sebagainya. Ini kalau dibahas jadi panjang. Tapi yang paling penting buat saya adalah menjawab pertanyaan : apakah eksplorasi tenun Baduy ini memang berguna untuk mereka? Karena dulunya, masyarakat Baduy Dalam memulai budaya tenun dengan diwajibkan memakai hasil tenunan sendiri setiap harinya, bukan untuk diperdagangkan. Maka sering terpikir, kita-kita ini yang mengeksploitasi mereka jangan-jangan malah mengganggu kultur dan kehidupan mereka yang damai!

Tetapi fakta berkata lain. Ternyata, penduduk Baduy Dalam sendiri sekarang sudah jarang menenun lagi. Masyarakat Baduy Luar sudah mengambil alih “budaya” menenun ini menjadi sebuah “sumber ekonomi”. Saat ini, ada sekitar 700 penenun tersebar di wilayah Baduy Luar dan menurut hasil sensus ekonomi pemerintah 2015, hasil tenunan para ibu-ibu ini sudah mengkontribusi lebih dari 60% nilai ekonomi seluruh wilayah Baduy Luar, melebihi penghasilan dari para suami (dari kerajinan lain, tas koja, gula aren dan berladang). Maka dari itu, tidak ragu-ragu lagi lah saya, untuk melanjutkan proyek ini karena berarti ini sudah menjadi sebuah industri (walau kecil) yang layak dieksplorasi. Kendala teknis seperti kapasitas produksi, sumber bahan baku, pemasaran, dll. juga serupa dengan apa yang dialami kelompok pengrajin daerah lainnya di Indonesia sehingga ini layak dijadikan studi kasus penerapan prinsip Slow Fashion. Cita-cita saya memang suatu saat bisa menggarap tekstil berbagai wilayah, dengan pola pendekatan yang sama seperti ini.

Lalu, kembali lagi ke pertanyaan : Untuk apa garap Baduy? Mereka kan sudah over exposed?

Jawaban saya adalah "tidak ada istilah over exposed selama pengrajinnya masih butuh order". Yang saya buat di sini tidak istimewa, desainnya sangat sederhana dan tidak menjual cerita filosofi ataupun karakter ke”Indonesiaan” sama sekali. Bahkan desain ini bisa saja muncul dari desainer belahan dunia manapun. Tetapi justru itu yang ingin saya capai… Hanya untuk membuktikan bahwa kain tradisional yang sederhana ini bisa menjadi sesuatu yang menarik, berkualitas dan sesuai trend pasar modern.

Semoga semakin banyak desainer lain yang terinspirasi untuk memakai tenunan asli buatan tangan ini, demi semakin berragamnya karya fashion tanah air, serta wibawa tenunan Baduy mulai disejajarkan dengan tenunan wilayah-wilayah eksotik lainnya.

 

Back to blog

Leave a comment