Intimidasi di Era Dekonsumsi

Di tengah ramainya dunia fast fashion, nggak semua ingin ikut berlari. Kini, muncul gelombang baru: era dekonsumsi. Sebuah pergeseran budaya, di mana orang mulai memilih dengan sadar bukan lagi soal jumlah, tapi soal makna. Dan bagi brand seperti Rengganis, ini adalah saat yang tepat untuk bersinar dalam keteduhan.

Atas Nama Edukasi

Buy less. Live slow. Begitulah yang digaungkan para aktivis lingkungan. Content creators baru pun ikut-ikutan. Lalu banyak orang mulai berpikir ulang tentang pilihannya ketika membeli pakaian, jajan, traveling, dsb.

It’s a good thing, right?

Tapi kekuatan influencers memang luar biasa. Saking semangatnya mereka mengedukasi, sampai tumpah ruah dengan emosi. Lalu viral. Sampai pada suatu titik di mana “influence” ekstrim berhasil bikin orang berpikir bahwa kita harus berhenti mengkonsumsi!

Edukasi perlahan berubah menjadi intimidasi. Beropini perlahan berubah menjadi menghakimi.

Manusia dan Rasa Bersalah

Setiap keputusan kecil memilih lokal, merawat pakaian lama, atau membeli yang berbahan mudah terurai adalah langkah menuju kehidupan yang lebih bijak. Tapi perasaan bersalah yang mempersoalkan apakah kita betul-betul membutuhkan barang itu, selalu menghantui kaum “sadar” baru.

Padahal dasar manusia, kalau ditekan di satu sisi, biasanya akan jebol pertahanan di sisi lain. Mengurangi kantong plastik, tapi hoarding tote bags. Stop belanja baju baru, tapi thrifting berlebihan. Ya karena kita manusia yang punya hasrat. Konsumsi tidak bisa dilogikakan ketika berkaitan dengan produk yang juga punya value di luar fungsi dasarnya.

Konsumsi yang Bertanggung Jawab

Kadang hasrat membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, tapi karena hal lain seperti keinginan untuk berekspresi, melestarikan budaya, atau sekedar support bisnis teman. Soal butuh apa nggaknya, influencer seberisik apapun nggak berhak mendikte kita.

Yang penting, ketika membeli pastikan dampak negatif ke lingkungan seminimal mungkin, dampak positif ke sosialnya semaksimal mungkin.

Serat alam untuk biodegradability, pewarnaan alam untuk mengurangi pencemaran, wastra asli untuk keberlangsungan ekonomi, brand lokal yang jujur untuk transparansi ... these are all good things, too.

Bukan soal apakah ini produk desainer atau bukan. Pake storytelling hebat ato nggak. Mahal atau murah. Nilai sebuah produk lebih luas dari itu kok.

It’s about you, and your personal impact to the world if you buy it.

Sebuah ocehan di Sabtu pagi. Karena bosan liat banyaknya influencers yang brisik nyuruh slow living tapi tidak menyentuh inti permasalahan: dunia ini penuh dengan produk yang nyampah. Maka solusinya bukan stop konsumsi, tapi kasih ruang untuk produk yang bermakna.

0 comments

Leave a comment